Taufiq Kiemas Di Mata Tokoh Islam

Mata Rantai Islam – Nasionalis

Ada yang istimewa pada hari ulang tahun ke-65 Taufiq Kiemas yang dirayakan secara sederhana di Bali, 31 Desember 2007. TK -sapaan populer politisi itu- mendapat kado buku tentang kiprahnya di panggung politik nasional yang merekam pandangan sejumlah tokoh Islam yang beragam. Dari mantan Menteri Agama masa Orde Baru, Tarmizi Taher hingga ustad Abu Bakar Baasyir. Dari akademisi muda Yudi Latif hingga Azyumardi Azra. Buku itu merupakan hadiah dari Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia, organisasi sayap PDI Perjuangan yang dideklarasikan pada 29 Maret 2007.


Selanjutnya pun yang hadir adalah nama-nama yang dekat dengan kita. Dari kalangan perempuan: Khofifah Indar Parawansa, Musdah Mulia, dan Aisyah Amini. Dari kalangan Muhammadiyah ada Syafii Maarif, Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Moeslim Abdurrahman. Dari kalangan Nahdlatul Ulama: Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, Said Agil Siroj, dan Syaifullah Yusuf. Dari kalangan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI): Akbar Tandjung dan Hadimulyo. Dari kalangan politisi: Bachtiar Chamsyah, Lukman Hakim Saefuddin, dan pimpinan Hizbut Tahrir Ismail Yusanto. Dari kalangan di luar itu ada Amidhan, Jimy Asshidiqie, dan Barlianta Harahap.

Pengelompokan seperti itu sebetulnya sangat cair. Apalagi, sebagian besar terlibat dalam pentas politik negeri ini sekalipun mereka tidak masuk kategori politisi (seperti Amien Rais dan Akbar Tandjung). Menurut editornya, Zainun Ahmadi dan Helmi Hidayat (Sekjen dan salah seorang Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia) lebih merupakan upaya untuk menarik sebanyak mungkin tokoh Islam dan seluas mungkin cakupan representasi kelompok Islam. Sekalipun kategori yang dibuat cair (awalnya ada nama-nama pendakwah AA Gym dan Ary Ginanjar) kendala tetap dijumpai. Umumnya hanya disebabkan alasan teknis, misalnya, sedang menunaikan ibadah haji. Atau Abdurrahman Wahid dan Jalaluddin Rakhmat ketika proses pengerjaan buku ini sedang dalam kondisi perawatan karena sakit.

Layaknya kado tentu diniatkan untuk menyenangkan hati penerimanya, dalam hal ini, TK, suami mantan orang nomor satu RI Megawati Sekarnoputri. Tetapi apakah karena niat untuk menyenangkan hati lantas buku ini sekadar deretan panjang pujapuji? Ternyata, sama sekali tidak.

Ada kritik -umumnya apresiasi yang kritis- yang datang misalnya dari Amien Rais menyangkut implementasi nasionalisme TK dalam politik ekonomi yang dinilainya belum kentara. Kritik itu dilayangkan Amien karena menurutnya punya topangan logika cukup mendasar. TK, bagi Amien, layak menjadi tumpuan harapan selain, sebagai menantu ia adalah "pewaris langsung" nilai-nilai kebangsaan Bung Karno. Alasan lain, kritik Amien, karena mantan ketua MPR dan juga tokoh reformasi ini dengan lugas menyebut dirinya pengagum tokoh proklamator dan presiden RI pertama itu yang sangat memperjuangkan martabat bangsanya.

Abu Bakar Baasyir lain lagi. Tokoh yang dibebaskan pada masa Presiden Megawati dari tuntutan hukum dalam kasus terorisme yang dulu menghebohkan ini, tidak menyangsikan keislaman TK karena secara kultural layaknya orang Sumatera mewarisi nilai-nilai itu. Namun, tokoh kharismatis Pondok Pesantren Ngruki, Solo, itu mengingatkan, merupakan sebuah kekeliruan bila Baitul Muslimin yang kelahirannya berkat dorongan TK hanya dijadikan kendaraan politik PDI Perjuangan.

Benang merah buku berjudul Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam ini memang isu jalinan keislaman dan Kebangsaan (baca: keindonesiaan). Politisi nasionalis yang memiliki fungsi stategis sebagai ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan itu memang tidak sedang bermainmain atas keberadaan Baitul Muslimin. Organisasi sayap partai itu adalah salah satu bentuk pembuktian TK bahwa terhadap isu Islam-Nasionalis, ia tidak serta-merta puas dan berhenti sebatas wacana.

Baitul Muslimin berikhtiar menghimpun semua kelompok Islam yang sejauh ini direpresentasikan melalui personel pengurusnya. Kalaupun tidak semua organisasi Islam tertampung -tidak atau belum mau bergabung- aktivitasnya ditujukan menjadi perekat. Agar Islam tidak mudah dijebak perspekstif yang sempit dan melupakan bahwa mereka berada dalam rumah besar yang sama: Indonesia. Dalam konteks itulah posisi TK layak ditempatkan. Dalam peta Islam-Nasionalis ia menjadi semacam mata rantai: penghubung.

Begitulah sejarah TK, pria kelahiran Jakarta 31 Desember 1942 dengan nama Taftavian Kiemas. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan Islam taat keluarga Masyumi, partai politik Islam yang dulu sangat berpengaruh. Tetapi TK muda mencoba menemukan jati dirinya sendiri. Ketika mahasiswa menempa dirinya melalui GMNI, organisasi kemahasiswaan yang berideologikan nasionalis. Ayahnya, putra Palembang, Tjik Agus Kiemas, notabene pentolan Masyumi, bahkan sampai menitikkan air mata atas pilihan anak kandungnya itu. Mungkin, kini banyak yang menyadari -seperti pandangan tokoh dalam buku ini- bahwa pilihan TK bukan sepenuhnya "menyeberang". Apa yang dilakukan TK seperti lazimnya budaya yang ditularkan dari ibunya, Hamzatun Rusjda, yang berdarah Minang, yaitu merantau. Tetapi yang dikerjakan TK merantau dalam pengertian "bepergian secara ideologis", bukan sekadar aktivitas migrasi fisik.

Pemaknaan seperti itu tentu saja merujuk atas apa yang kini dapat kita lihat sebagai yang senantiasa diperjuangkan TK. Sebagai nasionalis, ia melihat persolaan krusial yang senantiasa dihadapi bangsa dan tanah airnya adalah soal keindonesiaan. Dalam peta kultural dan politik apa yang didefinsikan sebagai keindonesiaan tidak mungkin menanggalkan entitas Islam. Sekali lagi, dalam konfigurasi Indonesia yang seperti itu, TK berfungsi sebagai mata rantai perajut Islam-Nasionalis: keindonesiaan. (*) Afnan Malay - Fungsionaris DPP PDI Perjuangan


Sumber : Dari Sini

TAHAPAN PEMILU BANYAK DIWARNAI AKSI NARSISTIK

Medan, (ANTARA News) - Tahapan Pemilu 2009 banyak diwarnai aksi narsistik, yakni keinginan para caleg menggapai kekuasaan dengan cara membangga-banggakan diri dan ambisi yang berlebihan.


Dekan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area (UMA), Irna Minauli, di Medan, Sabtu, mengatakan, narsistik biasanya timbul pada seseorang akibat pujian dan penghormatan berlebihan yang diterima secara berulang kali.

"Misalnya, seseorang akan merasa cantik karena seringkali menerima pujian bahwa dirinya cantik meskipun pada awalnya dia tidak merasa dirinya sedemikian," kata Irna Minauli.

Dia mengatakan orang narsistik ibarat jatuh cinta pada bayangan sendiri. "Merasa dirinya lebih hebat, lebih pintar dan lebih sukses dari orang lain. Padahal sebenarnya mereka bukanlah siapa-siapa dan kelebihan yang mereka miliki juga tidaklah terlalu istimewa," kata Irna Minauli.

"Maka tidak heran kalau banyak kita lihat orang yang mencalonkan diri menjadi caleg, padahal mereka bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki kompetensi untuk itu," katanya.

Ia mengatakan, semua orang yang mencalonkan diri sebagai caleg biasanya sudah memiliki impian-impian dan harapan jika terpilih, karena itu mereka tidak segan menginvestasikan dana.

"Yang menjadi persoalan, ketika mereka gagal, maka akan frustasi dan bila tidak ditangani dengan tepat dan secepat-cepatny, akan menyebabkan stres. Ia akan selalu berhalusinasi dan delusi. Misalnya beranggapan bahwa caleg lain curang."

Mereka selalu tegang hingga kesadarannya hilang atau berkurang dan pada akhirnya menyebabkan gangguan jiwa.

"Ini biasanya terjadi pada orang yang tidak memiliki kepribadian kuat dan nilai religiusitasnya juga rendah,"katanya.

Ina mengatakan, para calon harus siap menang dan siap kalah dan harus dikenal terlebih dahulu melalui karya.

"Yang menjadi persoalan adalah ternyata banyak orang yang tidak siap kalah, mereka berkhayal dengan apa yang telah dilakukannya, dengan modal yang banyak, sudah cukup menjadikan mereka terpilih. Ini yang akan membuat dia stres,"katanya.(*)


Sumber : Dari Sini

KETIKA BERTO IZAAK DOKO BERBUAT - 5


RANGKAIAN PERJALANAN BERTO IZAAK DOKO

KETIKA BERTO IZAAK DOKO BERBUAT - 4




KEBERSIHAN BAGIAN DARI IMAN MENYUMBANGKAN MESIN POTONG RUMPUT ADALAH KEHARUSAN



BERGOTONGROYONG MEMPERBAIKI FASILITAS UMUM WARGA



BERGOTONGROYONG MEMPERBAIKI JALAN SETAPAK DAN SUMUR AIR



SILATURAHMI TIADA HENTI

Sebanyak 85 Persen Pemilih Belum Kenal Caleg

Semarang, Kompas - Masyarakat ternyata masih bingung dalam menentukan calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2009 meskipun sosialisasi dan kampanye terselubung gencar terjadi di Jawa Tengah.

Hasil survei menunjukkan, sekitar 85 persen masyarakat masih belum tahu caleg secara detail dan 15 persen saja masyarakat yang tahu tentang caleg yang akan dipilih.


Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) Semarang Teguh Yuwono, Selasa (3/2), memaparkan hasil survei yang dilakukan di 10 daerah pemilihan Jateng dengan responden 1.000 pemilih potensial. Survei juga menunjukkan tingginya angka pemilih yang belum mengetahui caleg yang akan dipilih akibat buntunya komunikasi.


”Caleg yang gencar memasang poster atau spanduk itu ternyata fungsinya hanya sebatas perkenalan diri. Pemilih masih belum mengenal atau mengetahui langsung calonnya,” kata Teguh Yuwono, yang melakukan survei selama Desember 2008.


Teguh Yuwono menyatakan, ada tiga faktor yang mendorong pemilih menetapkan calegnya, yaitu sudah kenal, suka dengan program, lalu mendukung dan memilihnya pada Pemilu 2009. ”Tetapi, kenyataannya, pemilih sebagian besar masih belum mengenal atau mengetahui caleg yang akan dipilihnya,” katanya.


Besarnya jumlah pemilih yang belum mengenal caleg ini merupakan tantangan bagi Komisi Pemilihan Umum untuk terus melakukan sosialisasi lebih gencar. Sejak Mahkamah Konstitusi menetapkan caleg terpilih adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak, hal itu menggeser paradigma peran parpol ke peran individu caleg di masyarakat.


Selain itu, banyaknya pemilih yang tidak mengenal caleg ternyata juga akibat caleg yang tidak melakukan kontak langsung dengan konstituen. Pemilih juga tidak memiliki akses langsung ke caleg. Caleg banyak menggunakan pihak ketiga untuk berkomunikasi dengan pemilih.


Teguh Yuwono mengemukakan, survei juga menunjukkan bahwa pemilih sebagian besar menentukan caleg pilihannya berdasarkan kemampuan ekonomi caleg. Caleg yang mampu dari segi ekonomi dan akademi dipilih sekitar 36,6 persen, sedangkan caleg yang punya program kerja baik dipilih oleh 31,1 persen dan sisanya caleg paduan keduanya.


”Pemilih juga menyukai caleg yang tampil percaya diri berdasarkan kemampuannya.

Pemilih tidak suka terhadap caleg yang terlalu mengandalkan tokoh-tokoh lain, seperti Bung Karno, atau figur-figur lokal. Caleg yang memajang foto dirinya dengan latar belakang tokoh nasional atau figur lokal atau foto ayahnya menunjukkan, caleg itu tak percaya diri dengan kemampuannya,” kata Teguh Yuwono, yang juga dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang.


Mengenai peran orang ketiga dalam memengaruhi pilihan caleg, Teguh Yuwono memaparkan bahwa peran tokoh masyarakat dipercaya 28 persen pemilih. Disusul 22 persen pemilih menentukan caleg pilihannya sendiri dan 21 persen atas dasar panutan tokoh agama di lingkungannya. Pemilih yang mencontreng caleg karena masih ada hubungan famili hanya 7,5 persen dan caleg memilih pasangan suami-istri hanya 9 persen. (WHO)


Sumber : Dari Sini