Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis
Sunday, January 25, 2009 by BERTO IZAAK DOKO
Friday, 02 January 2009
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa
Menurut KH Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa
"Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas," kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di Hotel Santika,
Di atas panggung, tampak sebagai penanggap yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo, Wahyu Muryadi.
Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa
Gus Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap bahwa
Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama menenggang rasa," kata Gus Dur.
Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa
Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa
Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu menunjukkan bahwa
"Ini adalah konsekuensi dari hidup serba plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi
Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur. "Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat
Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang menyatukan bangsa
"Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas Magnis.
Menurut Magnis, bangsa
Perilaku pelaksana negara disoroti Bondan Gunawan. Menurut Bondan, mereka perlu memahami proto nasionalisme. "Darimana bangsa ini terbentuk, mengapa kita terbentuk, dan mengapa kita beraneka ragam," jelasnya.
Tanpa memahami proto nasionalisme dan metode perjuangan para founding fathers mustahil negeri ini akan bangkit kembali. "Karena hanya untuk berebut kekuasaan untuk individu bagi mereka yang maju," tegas Bondan.
Dalam catatannya, Wimar Witoelar menilai pada 2008 terjadi dua hal yang menggemparkan. "Jika di dunia Barat mempermasalahkan kapitalisme, di Indonesia mempersoalkan demokrasi," kata pria berambut keriting ini.
Namun Wimar menilai sampai kapanpun demokrasi adalah sistem yang terbaik. "Karena tidak ada sistem lain yang bisa mendatangkan hal-hal baik," katanya.
Demokrasi, kata Wimar, menjamin pluralisme, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di
Pakar komunikasi politik Effendy Ghazali mengatakan issue pluralisme pada tahun 2008 ini tidak terlalu dihargai oleh media
"Di sini Gus Dur memberitahu kita mana batas-batas dialog yang perlu selalu kita jaga untuk pluralisme di